
Kalau
ada perempuan hamil di luar nikah, memang tidak lantas terjadi gempa bumi.
Hanya saja gunjingan mulut di kalangan masyarakat tidak bisa didisiplinkan.
Masyarakat tidak peduli hamil di luar nikah karena keajaiban seperti Siti
Maryam AS atau sebagaimana beberapa kasus yang terdengar di telinga masyarakat.
Maklum saja, gunjingan ini bisa dibilang sanksi sosial sebagai kontrol dari
masyarakat.
Kalau
sudah begini, lazimnya pihak orang tua langsung mengawinkan anaknya yang hamil
di luar nikah itu. Mereka tidak mau ikut menanggung aib dan gunjing tetangga
sebelum kandungan anaknya membesar. Mereka ingin kehadiran seorang menantu saat
persalinan anaknya. Usai persalinan? Apa peduli. Perempuan hamil di luar nikah
berbeda dengan perempuan hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suaminya.
Untuk mereka yang hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suami, pernikahan
mereka tidak sah. Mereka boleh menikah lagi setelah melahirkan dan habis masa
nifas.
Sedangkan
perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya
milik mereka yang menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah tetap
sah. Demikian diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil
Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو
نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
Artinya, kalau seorang
pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya
secara qath’i sah.
Menurut
pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama
masa kehamilan. Meskipun demikian, Islam secara keras mengharamkan persetubuhan
di luar nikah. Hamil, tidak hamil, atau dicegah hamil sekalipun. Karena,
perbuatan keji ini dapat merusak pelbagai aspek. Jangan sampai ada lagi
bayi-bayi suci teronggok bersama lalat dan sampah. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)
0 komentar:
Posting Komentar