Minggu, 18 Januari 2015

Wali Nikah Pernikahan

Wali Nikah


Kedudukan wali menurut Imam Malik, Syafii dan Hambali merupakan syarat sahnya perkawinan. Dasar hukumnya adalah Hadits Nabi : Barang siapa di antara perempuan yang menikah dengan tak seijin walinya maka perkawinannya batal (Empat orang ahli hadits kecuali Nasai). Juga Hadits Nabi : ”Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan lain dan jangan pula menikahkan seorang perempuan akan dirinya sendiri(Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni). Dan Hadits Nabi : ”Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil (Hadits Riwayat Ahmad).
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi : ”Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya (Hadits Bukhari Muslim). Sementara menurut Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa wali nikah merupakan rukun. Tertib wali menurut Imam Syafii:
a)  Ayah
b)  Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
c)  Saudara laki-laki kandung
d)  Saudara laki-laki seayah
e)  Kemenakan laki-laki kandung
f)  Kemenakan laki-laki seayah
g)  Paman kandung
h)  Paman seayah
i)   Saudara sepupu laki-laki kandung
j)   Saudara sepupu laki-laki seayah
k)  Sultan/hakim
l)  Orang yang ditunjuk oleh mempelai wanita
Macam Wali
a)  Wali Nasab
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai perempuan. Wali nasab terbagi menjadi dua:
1) Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut Imam Syafii hanya ayah, kakek dan seterusnya ke atas.
2) Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa ijin/persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar.
b)  Wali Hakim.
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila:
(1) Wali nasab tidak ada: memang tidak ada (kemungkinan calon mempelai wanita kehabisan wali dalam arti semua wali nasab yang yang memenuhi syarat telah meninggal dunia, calon mempelai wanita tidak mempunyai wali karena wali lain agama dan merupakan anak luar kawin.
(2) Wali nasab tidak mungkin hadir : bepergian jauh, berhaji dan melaksanakan umroh.
(3) Wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya;
(4) Wali nasab gaib (mafqud); diperkirakan masih hidup tetapi tidak diketahui rimbanya.
(5) Wali nasab adlal atau enggan (setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut). Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya. Sedangkan masing-masing pihak menginginkan adanya pernikahan tersebut. Dalam kaitan ini, ada sebuah hadits yang yang bunyinya : Apabila datang kepadamu laki-laki yang kamu rasakan mantap karena kekuatan agama dan akhlaknya. Nikahkanlah dia dengan anak perempuanmu. Apabila kamu tidak menerimanya, akan terjadi bencana dan kerusakan di muka bumi. Dengan demikian, baik Al-Quran maupun hadits menjadikan ketaqwaan sebagai nilai utama dalam pemilihan jodoh. Oleh karenanya dalam Pasal 61 KHI ditentukan bahwa Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama dan ikhtilaafu al dien.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites